SEJARAH KERAJAAN MATARAM KUNO
Pada abad ke-8 di
pedalaman Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja
Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram diterangkan dalam Carita Parahyangan.
Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh.
Rajanya bernama Sanna
(Sena). Suatu ketika, ia diserang oleh
saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa
tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang
lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi.
Anak Sannaha, Sanjaya, di
kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu.
Tepatnya pada tahun 717 M.
Bukti lain mengenai
keberadaan Kerajaan Mataram Hindu atau sering juga disebut Mataram
Kuno adalah prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh Sanjaya. Prasasti
ini berangka tahun Cruti Indria Rasa atau 654 Saka (1 Saka sama
dengan 78 Masehi, berarti 654 Saka sama dengan 732 M), hurufnya Pallawa,
bahasanya Sanskerta, dan letaknya di Gunung Wukir, sebelah selatan
Muntilan.
Isinya adalah pada tahun
tersebut Sanjaya mendirikan lingga di Bukit Stirangga untuk keselamatan
rakyatnya dan pemujaan terhadap Syiwa, Brahma, dan Wisnu, di daerah suci
Kunjarakunja. Menurut para ahli sejarah, yang dimaksud Bukit Stirangga
adalah Gunung Wukir dan yang dimaksud Kunjarakunja adalah Sleman (kunjara
= gajah = leman; kunja = hutan). Lingga adalah simbol yang menggambarkan
kekuasaan, kekuatan, pemerintahan, lakilaki, dan dewa Syiwa.
Raja-raja wangsa Sanjaya,
seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu), sebagai berikut.
1) Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya (717 – 746 M)
Raja ini adalah pendiri
Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Setelah wafat, ia
digantikan oleh Rakai Panangkaran.
2) Sri Maharaja Rakai
Panangkaran (746 – 784 M)
Dalam prasasti Kalasan
(778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang dipersamakan dengan
Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara,
istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat
Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra.
Ini menunjukkan
bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti
Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan
menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain
itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke
Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama
Hindu.
3) Sri Maharaja Rakai
Panunggalan (784 – 803 M)
4) Sri Maharaja Rakai
Warak (803 – 827 M)
Dua raja ini tidak
memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam memerintah
sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram.
Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja
wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun karena kedudukannya hanya
bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang
mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.
5) Sri Maharaja Rakai
Garung (828 – 847 M)
Raja ini beristana di
Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di mana nama
Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar
diceritakan dalam prasasti Karang Tengah – Gondosuli).
6) Sri Maharaja Rakai
Pikatan (847 – 855 M)
Raja Pikatan berusaha
keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa
pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya).
Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan nama Pikatan sebagai berikut.
a) Prasasti Perot,
berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah raja yang
sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti Argopuro yang
dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
c) Tulisan pada sebelah
kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan menyebutkan nama Sri Maharaja
Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan.
Diduga tulisan
tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri
Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri
Samaratungga, dari dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka
dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.
Rakai Pikatan sendiri
mengeluarkan tiga prasasti berikut.
1) Prasasti Pereng (862
M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan kepada
Kumbhayoni.
2) Prasasti Code D 28,
berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya
adalah
(1) Jatiningrat (Pikatan)
menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti
Kedu);
(2) Pikatan mendirikan
bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan;
(3) kisah peperangan
antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana
Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).
3) Prasasti Ratu Boko,
berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan.
Ketiga lingga yang
dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit
harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat
raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling
berkuasa).
Sebagai raja, Pikatan
berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus menghadapi wangsa
Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha. Untuk itu,
Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putri Samaratungga,
Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan
dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra
Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan
kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.
7) Sri Maharaja Kayuwangi
(855 – 885 M)
Nama lain Sri Maharaja
Kayuwangi adalah Lokapala. Ia mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti
berikut.
a) Prasasti Ngabean (879
M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.
b) Prasasti Surabaya,
menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863
M), menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama
Kayuwangi.
Dalam pemerintahannya,
Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang
terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang
mahapatih.
8) Sri Maharaja
Watuhumalang (894 – 898 M)
Masa pemerintahan
Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan Dyah Balitung
dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi
turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama.
Di antara raja-raja
yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat
dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang.
Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887
M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut
mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung
sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.
9) Sri Maharaja Watukura
Dyah Balitung (898 – 913 M)
Raja ini dikenal sebagai
raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan
kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah sampai ke
Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:
a) Balitung Uttunggadewa
(tercantum dalam prasasti Penampihan),
b) Rakai Watukura Dyah
Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu
(tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai
Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).
Prasasti-prasasti yang
penting dari Balitung sebagai berikut.
a) Prasasti Penampihan di
Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903
M).
c) Prasasti Mantyasih di
Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya
(910 M).
Sebenarnya, Balitung
bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik takhta karena
kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri Raja Mataram.
Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan
rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok
tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.
Tiga jabatan penting yang
berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah Rakryan i Hino (pejabat
tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga
jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan
Majapahit.
Balitung digantikan oleh
Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri
Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah
kekuasaan dinasti Sanjaya.
Ketika Mataram diperintah
oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah dinasti Syailendra ke Jawa.
Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti Syailendra ini. Dr.
Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti
Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti
Syailendra berasal dari Funan.
Dinasti ini lalu berhasil
mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng, Wonosobo, di
wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian
memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan
Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai
Jawa Tengah bagian selatan.
Sumber-sumber sejarah
mengenai keberadaan dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Prasasti Kalasan (778
M)
2) Prasasti Kelurak (782
M)
3) Prasasti Ratu Boko
(856 M)
4) Prasasti Nalanda (860
M)
Raja-raja dinasti
Syailendra sebagai berikut.
1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu berarti matahari.
Ia adalah raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti
yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.
2) Wisnu (775 – 782 M)
Nama Wisnu disebutkan
dalam beberapa prasasti.
a) Prasasti Ligor B
menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan dewa
Kama. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu
Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang
gagah berani.
b) Prasasti Kalasan (778
M) menyebutkan desakan dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.
c) Prasasti Ratu Boko
(778 M) menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.
3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan
prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa
Manjusri, yang mencakup Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu),
dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan
di candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala.
Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata dewa Indra.
4) Samaratungga (812 –
832 M)
Raja ini adalah raja
terakhir keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan
prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746
Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan
putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan
Jimalaya (candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.
Nama Samaratungga juga
disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian
biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala,
India). Pada masa pemerintahannya, Samaratungga membangun candi Borobudur
yang merupakan candi besar agama Buddha. Samaratungga kemudian digantikan
oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa
Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.
Kerajaan Mataram Kuno
merupakan negara agraris yang bersifat tertutup. Akibatnya, kerajaan ini
sulit berkembang secara ekonomi, terutama karena segi perdagangan dan
pelayaran sangat kering. Kejayaan baru diperoleh pada masa pemerintahan
Balitung. Ia membangun pusat perdagangan seperti disebutkan dalam prasasti
Purworejo (900 M). Dalam prasasti Wonogiri (903 M) diterangkan
bahwa desa-desa yang terletak di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo
dibebaskan dari pajak dengan syarat penduduk desa tersebut harus menjamin
kelancaran hubungan lalu lintas melalui sungai.
Ketika wangsa Sanjaya
menyingkir ke Pegunungan Dieng sejak masa Panangkaran hingga Rakai
Pikatan, banyak didirikan candi yang kini dikenal sebagai kompleks
candi Dieng. Kompleks candi ini, antara lain, terdiri atas candi Bimo,
Puntadewa, Arjuna, dan Nakula. Adapun di Jawa Tengah bagian selatan
ditemukan candi Prambanan (Roro Jonggrang), Sambi Sari, Ratu Boko, dan
Gedung Songo (Ungaran) sebagai hasil budaya Mataram Kuno.
No comments:
Post a Comment