Contoh Resensi Novel Negeri 5 Menara
Judul
Novel : Negeri 5 Menara
Judul resensi novel : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Agustus 2010
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : 424 hal
Judul resensi novel : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Agustus 2010
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : 424 hal
Resensi Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang merupakan novel best seller ini,
menceritakan kisah lima orang sahabat yang mondok di sebuah pesantren yaitu
Pondok Madani (PM). Novel best seller ini merupakan novel pertama dari trilogi
yang secara apik bercerita tentang dunia pendidikan khas pesantren, lengkap
dengan segala pernak-pernik kehidupan para santrinya.
Alif Fikri adalah seorang yang sangat menginginkan sekolah di SMA Bukittinggi Sumatera Barat dengan berbekal nilai ujian yang lumayan bagus. Namun mimpinya seakan sirna, musnah tak berbekas, karena Amaknya tidak mengijinkan. Beliau ingin Alif sekolah di Madrasah Aliyah yang berbasik agama, dengan alasan Amak ingin Alif menjadi Ustad (Ulama). Dengan setengah hati, Alif menerima keinginan Amaknya untuk sekolah agama.
Awal mulanya dia sangatkaget dengan segala peraturan ketat dan kegiatan pondok. Untunglah, dia menemukan sahabat-sahabat dari berbagai daerah yang benar² menyenangkan. Niatan setengah hatinya kini telah menjadi bulat. Di bawah menara PM inilah mereka berlima justru menciptakan mimpi²i lewat imajinasinya menatapi langit dan merangkai awan-awan menjadi negeri impian. Mereka yakin kelak impian itu akan terwujud. Karena mereka yakin akan mantra ampuh yang mereka dapatkan dari Kyai Rais (Guru Besar PM), yaitu man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Kelebihan novel ini adalah mengubah pola pikir kita tentang
kehidupan pondok yang hanya belajar agama saja. Karena dalam novel ini selain
belajar ilmu agama, ternyata juga belajar ilmu umum seperti bahasa inggris,
arab, kesenian dll. Pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan pernah
meremehkan sebuah impian setinggi apapun itu, karena allah Maha mendengar doa
dari umatNya.
Judul buku :
Desaku, Sekolahku Penulis : Ahmad M. Nizar
Alfian Hasan Penerbit : Pustaka Q-Tha Tahun Terbit :
Agustus 2007 Tebal buku : XXV+189 hlm, 14 x 20 cm Ketika sekolah semakin
mahal dan membosankan, apa yang mungkin kita lakukan untuk menghadapi situasi
seperti ini? Biaya sekolah terus mengikuti trend harga barang-barang di pasaran
yang terus membumbung naik. Sementara, kualitas lulusannya masih jauh dari yang
diharapkan. Murid-murid sendiri banyak yang menyatakan kebosanan, tidak
menyenangkan dan tidak menarik atas proses pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah
dengan rasa tertekan dan keterpaksaan. Belum lagi ketegangan dengan guru dan
tugas-tugas sekolah serta pekerjaan rumah (PR) yang menyebalkan. Waktu untuk
mengekspresikan diri dan explorasi ketertarikan pada hal-hal di luar sekolah
habis ditelan tuntutan aktivitas di sekolah. Formalitas sekolahan telah
memandulkan kreativitas dan mengasingkan para murid dari lingkungan hidupnya
sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak dari keluarga miskin yang tersebar luas
di Indonesia Raya ini? Dan pada akhir ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun
tiba, ijasah adalah symbol kebanggaan kelulusan yang konon bisa memberikan
jaminan hidup kedepan(?) Perlu disadari para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu
diterimakan, ketika itu pula status anda berubah, bukan lagi menjadi mahasiswa
sang intelektual melainkan “pengangguran” bila anda belum produktif. Sebagai
sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menerapkannya
dalam aktivitas kerja produktif di tengah-tengah masyarakat membangun ini;
pertanyaannya, apa yang bisa anda kerjakan/ hasilkan? Apa yang bisa dibanggakan
dengan ijasah di tangan tapi tidak berdaya..? Kenyataan cenderung mengatakan
“untuk menjadi pandai itu memang mahal.” Dan “orang-orang miskin dilarang
sekolah.” Namun demikian, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi di muka
Bumi ini selama hal itu manusiawi. Bahwa sekolah (baca: belajar) itu bisa murah
dan berkualitas adalah bukan mimpi, dan hal ini dibuktikan oleh komunitas
petani—yang menamakan dirinya komunitas Qaryah Thayyibah-- di Desa Kalibening,
Kecamatan Tingkir, 3 kilometer dari Kota Salatiga, Propinsi Jawa Tengah.
Berawal dari solidaritas yang kuat dari seorang Bahrudin yang melihat para
tetangganya tidak mungkin menyekolahkan anak-anaknya ke SLTP, karena biaya
masuk sekolah dan SPP bulanannya terasa memberatkan. Ketika itu, ia akan
memasukkan anaknya, Hilmy, ke SLTP di Kota Salatiga. Ia menemui kenyataan bahwa
biayanya cukup mahal, dan tidak sampai hati menyaksikan anaknya pergi ke
sekolah sementara anak-anak tetangganya tak terperhatikan pendidikannya, maka
ia mengajak warga sekitarnya untuk mendirikan sekolah SLTP terbuka, yang
kemudian berkembang menjadi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah. SLTP itu menyebut
diri “alternatif” karena mereka memang bisa dikatakan terlepas dari
mainstreaming proses pembelajaran sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah
pada umumnya. Sekolah ini mempunyai prinsip dasar: 1) Pendidikan dilandasi
semangat pembebasan dan perubahan yang lebih baik; 2) Keberpihakan kepada
keluarga miskin; 3) proses belajar yang menyenangkan (egaliter); dan
partisipasi semua pihak. Dan sebagaimana yang dicita-citakan oleh penggagasnya,
bahwa SLTP alternatif ini bercita-cita menjadi sekolah yang murah dan
berkualitas. Pak Bahrudin menekankan bahwa lembaga pendidikan alternatif
seyogyanya menyatu dengan lingkungan sosial dan alam sehingga secara langsung berkonribusi
pada perwujudan masyarakat yang tangguh yang mampu mengelola dan mengontrol
segala sumber daya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki
dan perempuan, atau masyarakat ilmu yang berkeadaban (hlm.37). “Desaku,
Sekolahku” adalah pilihan judul buku yang sangat tepat untuk menyebut konsepsi
belajar yang terjadi di Desa Kalibening. Bahwa belajar tidak hanya di ruang
kelas, tetapi bisa juga di kebun, di lapangan, di bengkel, di sawah, di pinggir
kali, di dapur, di masjid, di rumah-rumah warga, dan seterusnya. Penulis,
A.M.Nizar Alfian Hasan menemukan pesona tersendiri dari anak-anak SLTP yang
mempunyai konsep sekolah ideal tidak terbatas pada bangunan sekolah, atau
konsep ruang bangunan. Sekolah bagi anak-anak itu adalah rumah, ruang
perpustakaan, dapur, halaman rumah sampai lingkungan alam desa dimana mereka
hidup. Proses belajar ditentukan sendiri oleh para murid dan kondisi yang
nyaman serta menyenangkan dengan sendirinya tetap terjaga. Ternyata suasana
informal justru sangat mendukung proses belajar yang kreatif, efektif dan
menyatu dengan masyarakat. Lompatan besar pun terjadi. Anak-anak SLTP
alternatif ini dengan kesadaran baru tidak mengejar penilaian dan ijasah,
melainkan pengetahuan dan kemampuan baru. Bukan kompetisi penilaian yang
dibangun, melainkan kompetisi memahami pengetahuan dan membagikannya kepada
kawan-kawan lainnya. Hanya 4 orang muridnya yang ikut Ujian Akhir Negara (UAN)
2006 yang lalu; itu pun tujuannya adalah penelitian. Persoalan pun dipecahkan
bersama-sama. Saya harus menyampaikan rasa salut saya kepada Bapak Roy
Budhianto di Kota Salatiga yang mendukung pembelajaran anak-anak itu dengan
menyediakan akses internet 24 jam gratis sebagai jendela wawasan dunia. Atas
dukungan inilah anak-anak SLTP QT melesat cepat menjadi komunitas pengguna
internet terbaik di dunia sejajar dengan tujuh komunitas dunia lainnya, seperti
Kampung Issy Les Moulineauk di Perancis dan Kecamatan Mitaka di Tokyo—menurut
peneliti Asia Pasific Telecommunity di Bangkok, Dr.Naswil Idris. “Action Day”
adalah agenda belajar anak-anak SLTP untuk beraktivitas di lingkungan
masyarakat secara langsung, misalnya meneliti dan menulis tentang sengketa mata
air “Belik “ Luweng. Kegiatan ini menjadi ajang implementasi pengetahuan dan
sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Tidak ada anggapan
bahwa ada anak yang bodoh, yang ada adalah talenta dan ketertarikan yang
berbeda-beda. Mereka tidak hanya belajar pengetahuan dan keterampilan, tetapi
juga belajar tentang kehidupan (humanisme). Tidak ada paksaan bahwa semua siswa
harus menguasai pelajaran; kalau ternyata guru saja tidak harus menguasai bahan
pelajaran. Hal ini mengingatkan saya pada situasi belajar di Tomoe, Jepang,
pasca perang dunia kedua, sebagaimana digambarkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dalam
bukunya yang terkenal “Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela”. Dan seperti
cita-cita Alm. Romo YB.Mangunwijaya yang sering saya dengarkan sebelum
kepergiannya. Proses belajar ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas.
Sebagian dari mereka sudah menulis beberapa novel dan buku ilmiah yang
dipublikasikan oleh penerbit di Yogyakarta. Dan juga sering mendapatkan
undangan untuk menjadi pembicara atau sekadar berbagi pengalaman. Beberapa
karya mereka meliputi pembuatan film documenter dan film untuk belajar
(pengetahuan), menerbitkan majalah E-lalang, berteater untuk masyarakat, dan
mahir dalam multimedia. Mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat
kosmopolitan tetapi tetap mengakar di dunianya.Mereka telah berpikir global dan
bertindak lokal (think globally, act locally). Dalam buku ini tereksplorasi
bagaimana anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mempunyai tugas
akhir—sebagai pengganti UAN--untuk menandai kelulusannya dengan mengadakan dan
menyelesaikan “disertasi” masing-masing. “Disertasi” itu antara lain Pengadaan
Ruang Belajar, Studio Musik Bawah Tanah dan Kolam Belut di Rumah As’ad;
Laboratorium Tanaman dan Pembuatan Briket Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar
dan Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa; Ruang Belajar di Rumah Amik;
“Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga Alm.Bapak Tafdil; Radio
Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak Bahrudin; dan lain-lain. Proses
penulisan Tugas Akhir dalam studi Arsitektur di FT-UNS Surakarta ini perlu
dijadikan contoh nyata, bahwa pembelajaran yang langsung melibatkan suatu
masyarakat akan memberikan transformasi positif bagi kedua belah pihak. Penulis
mengakui bahwa proses interaksi dengan komunitas, terutama anak-anak SLTP
alternatif Qaryah Thayyibah mempuyai dampak pembelajaran yang memberikan
pencerahan. Semuanya merasakan perubahan yang lebih baik. Dan pada akhirnya,
perlu diambil hikmahnya: bahwa belajar itu tidak mengenal batas ruang dan
waktu, bahwa sekolah itu bisa murah dan berkualitas, dan tentunya dengan adanya
semangat dan upaya yang kuat dari semua pihak. Inilah yang disebut Komunitas
Belajar. Djuneidi Saripurnawan, RDC Plan Aceh, alumnus Studi Antropologi UGM
Yogyakarta.
muhammadfadlyzkf@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment